Kamis, 16 Juni 2016

Filosofi Coklat

Jika ada orang yang memilih untuk menjadikan padi sebagai filosofi hidup, maka saya akan menjadikan coklat sebagai salah satu filosofi hidup saya. Tadinya saya belum berpikir untuk menjadikan coklat sebagai salah satu filosofi hidup saya, namun kegemaran saya menyantap coklat ternyata memacu stimulus di otak saya untuk berpikir lebih jauh tentang sebuah coklat. Bingung dengan filosofi coklat yang saya maksud? Baiklah, saya akan menjelaskan filosofi coklat –yang saya kutip dari An Ordinary Mind blogspot- untuk kamu semua.

Disukai banyak orang. Yup! Pasti kamu semua sepakat dengan saya kan? Hingga saat ini saya belum menemukan orang yang tidak suka coklat. Tua-muda, kaya-miskin, cakep-jelek, pintar-bodoh, bahkan waras-gila; semua suka coklat. Coklat mampu merobohkan batasan yang terkadang menjadi tembok pembatas antar individu. Pun ketika ada orang yang tidak mengkonsumsi coklat, biasanya lebih karena alasan medis atau diet. Bukan karena mereka tidak suka coklat! Coz, everybody loves chocolate!

Saya ingin seperti coklat. Disukai dan dicintai banyak orang, dari semua umur dan strata. Saya ingin menjadi coklat, yang mampu merobohkan tembok pembatas individu, yang mampu menyatukan perbedaan banyak orang dalam satu persamaan rasa. Seseorang yang dapat menyenangkan, bahkan mungkin menjadi hal yang terindah bagi orang lain. ;)

Coklat tetaplah coklat. Kalau ada kata-kata: Hitam tetaplah hitam, dan putih tetaplah putih. Maka saya akan berkata: Coklat tetaplah coklat! Maksudnya begini, dalam konteks coklat sebagai makanan –bukan sebagai salah satu jenis warna-, coklat akan tetap bernama coklat. Walaupun warnanya putih (white chocolate), hitam (dark chocolate), atau coklat yang telah dimodifikasi ke dalam berbagai bentuk dan warna. Sebagai makanan, predikat coklat tidak akan lepas dari si coklat.

Dan, saya pun tetaplah saya. Saya sebagai makhluk Sang Sempurna, saya sebagai anak, saya sebagai kakak, saya sebagai kawan, saya sebagai –mungkin- lawan, saya sebagai mahasiswi dan nantinya saya sebagai istri, atau saya sebagai ibu. Tidak ada yang dapat mencampuradukkan atau mengaburkan seorang saya. Mungkin selintas terkesan sombong. Tapi coba pikir, apakah kamu semua harus selalu ‘melompat’ menjadi orang lain ketika berada di tiap situasi berbeda? Tentu tidak bukan?! Yang saya maksud disini adalah sifat, sikap dan prinsip. Buat saya, semuanya tidak perlu berubah, selama tidak merugikan orang lain, bertentangan dengan kaedah hukum yang saya pahami dan norma lingkungan tempat saya berada. U are u!

Don’t judge the book by its cover. Apa hubungan kalimat tersebut dengan coklat? Untuk menjawabnya, saya akan mulai dengan bertanya: Sudah pernah melihat buah dan pohon coklat? Kalau belum, maka saya pernah! Di kampung halaman saya, terdapat perkebunan coklat. Dulu, ketika saya masih di Sekolah Dasar, saya pikir coklat terbuat dari sejenis adonan kue yang kemudian di beri pewarna coklat. Tidak pernah terpikir oleh saya bahwa coklat lezat yang biasa saya konsumsi, ternyata menjelma hanya dari sebuah pohon yang buahnya mirip buah labu kuning mini.

Begitu pula yang selalu saya tumbuhkan di kalbu ini. Jangan pernah menilai seseorang dari tampilan luarnya! Untuk menilai seseorang, dengar substansi dari tiap perkataannya! Lihat yang terkandung dalam pemikirannya! Bukan dari performanya! Banyak hal yang menipu di dunia ini, saya hanya tidak ingin ikut tertipu dan ditipu oleh dunia, maka saya memilih untuk menjadikan mata hati sebagai penglihatan saya. Di dunia ini, terkadang hal yang abstrak lebih sering benar dari hal yang konkrit.

Dari 3 filosofi coklat diatas yang saya jadikan filosofi hidup tersebut, masih ada beberapa hal lain dibalik coklat yang berhubungan dengan cinta.

Cinta yang elegan. Buat saya coklat adalah makanan yang elegan dan penuh cinta, terlepas dari berapa harga sebuah coklat. Dulu, waktu kecil ayah saya selalu membelikan coklat. Dan coklat itu khusus untuk saya. Ayah tidak pernah bosan untuk membeli coklat, terkadang kuantitasnya terlalu berlebihan, hingga saya pernah terkena penyakit karena kelebihan mengkonsumsi coklat, namun ayah tidak pernah bosan untuk kembali membawakan coklat. Coklat tidak pernah dinilai dari murah atau mahalnya, tapi lebih dibalik itu, yaitu cinta yang elegan.

Unspoken love. Cinta yang tak terucap. Bagi beberapa orang yang sulit sekali mengucapkan cinta –bukan saya!–, coklat perantara ampuh untuk mengungkapkannya. Seseorang tidak perlu mengatakan cinta, karena dengan hanya memberi coklat, orang yang menerima coklat akan menafsirkannya sebagai ungkapan cinta.
Coklat adalah seni. Seorang guru di sebuah bimbel pernah berkata, ada tehnik tertentu untuk menikmati kelezatan coklat. Caranya, jangan memakan coklat dengan dikunyah, tapi taruh gigitan coklat diatas dinding mulut, kemudian gunakan lidah untuk mengecapnya. Dengan cara itu pula dapat diketahui harga sebuah coklat, coklat yang mahal dan berkualitas akan tidak mudah lumer ketika ditaruh diatas dinding mulut, tapi tidak dengan coklat yang murah dan rendah kualitasnya. Hmmm, ternyata untuk menikmati sebuah coklat, perlu ada tehnik tertentu, ada seni tersendiri.
Lihat bagaimana kompleksitas dan makna sebuah coklat. Ternyata coklat tidak hanya sekedar makanan yang melezatkan ya? Tentunya masih banyak hal lain tentang sebuah coklat, mau berbagi dengan saya????

-Nie, just love chocolate, not addicted!-

“Just an ordinary mind from an ordinary person with an ordinary life”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar